ABDULSALAM DKK SENIMAN DIMASA PERANG KEMERDEKAAN R.I.
Menurut mBak Yetti Iskandar Hidayat, putri Pak Salam ke-3, Abdulsalam
dilahirkan di Sumpyuh, Jawa Tengah, pada
tanggal 9 April 1912. Didalam publikasi namanya dipisahkan menjadi Abdul Salam, akan tetapi tandatangan di
lukisannya adalah Abdulsalam dengan
huruf “m” ditulisnya sebagai tiga garis sejajar seperti “III”.
Pak Salam adalah anak seorang staf De Javaasche Bank di Purwokerto. Pada tahun 1941, empat tahun
sebelum merdeka, Pak Salam pernah
menjadi anggota dan kemudian pernah menjadi sekretaris Persatuan Ahli Gambar
Indonesia (PERSAGI). Pada potret pendirian organisasi itu, Pak Salam nampak
pada baris belakang, sebelah kiri, berkumis dan memakai jas putih.
Di salah satu berita disebutkan bahwa dengan didirikannya
PERSAGI merupakan suatu bentuk perlawanan kepada Belanda dalam hal seni, bahwa
bangsa Indonesia tidak hanya bisa menjadi kuli seperti yang disindirkan oleh
seorang pejabat Belanda.
Sesudah tamat MULO (SMP jaman Belanda) di Bandung, Pak Salam
bekerja di Kantor Statistik dekat Pasar Baru Jakarta.
Saya mengenal karikaturis Pak Salam pada bulan Juli 1947 waktu
ayah saya seorang pegawai Kementerian Pekerjaan Umum, ditugaskan untuk belajar
di Universiteit Gajah Mada dan membawa keluarga besar kami dari Temanggung ke Jogja. Keluarga besar
adalah keluarga inti ditambah Kakek Wirjo (54) yaitu bapaknya Ibu, dua adik Ibu,
yaitu Bu Warti (16) dan Bu Sup (14) yang mengungsi dari Tegal dan sampai di
Temanggung dengan berjalan kaki melalui sawah, desa dan sungai sejauh 250 km.
Indonesia masih dalam keadaan perang melawan Belanda yang
tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Sesudah proklamasi Belanda
mengadakan Agresi Militer I dan Agresi
Militer II masing-masing pada Juli 1947
dan Desember 1948 dengan melanggar Perjanjian Renville dan Perjanjian
Linggarjati.
Di Jogja keluarga besar kami tinggal
di sebuah rumah petak di Jl. Bugisan no. 5 di mana beberapa keluarga tinggal yaitu keluarga pelukis Abdulsalam, keluarga pelukis
Soerono dan keluarga besar kami.
Ditengah rumah terdapat ruangan yang agak luas yang digunakan sebagai “kantor” untuk bekerja
para pelukis yang tiap pagi datang dan pulang siang hari. Mereka yang sering
saya lihat adalah adalah pelukis-pelukis
Soedibjo, Ramli, Oesman Effendi dan Tino Sidin. Kadang-kadang datang
pelukis Soekamto dan pernah Pak Djon panggilan pelukis S. Soedjojono datang ke
Jalan Bugisan. Di ruang tengah itulah
terdapat lukisan-lukisan bernuansa perjuangan di antara lukisan-lukisan lainnya,
tube cat dan kwas.
Para pelukis itu membuat gambar, spanduk dan selebaran untuk
menggelorakan perjuangan. Mereka digaji oleh Kementerian Pemuda dan Pembangunan yang menterinya adalah Soepeno. Dalam komik Kisah Pendudukan Jogja Pak Salam menggambarkan
Menteri Soepeno yang akan mandi ke kali dalam pengungsian kepergok Tentara
Belanda. Menteri Soepeno gugur ditembak. Menteri Soepeno telah menyumbangkan jiwa
raganya untuk Republik Indonesia.
Di Bugisan itulah saya melihat Soerono membuat rancangan bendera
Pekan Olah Raga Nasional yang diselenggarakan di Stadion Sriwedari Solo. Dalam Album Perang Kemerdekaan 1945-1950
Penerbit Almanak R.I./BP Alda, disebutkan bahwa bendera PON memang dibawa dari
Jogja ke Solo.
Dalam buku yang sama di depan Gedung Negara di Jogja tertera grafiti
bagus menurut kaidah lettering yang
dibuat dengan kwas dan tatabahasa yang benar We Don’t Want to be Ruled by Any Other Nations. Tentulah seorang
seniman tak mau dikenal yang membuatnya dan seorang politikus pejuang tak mau
dikenal yang mendiktekan kalimatnya.
Dalam blog Arswendo Atmowiloto yang berjudul Tiga yang Berharga (1) Pak Salam, Pejuang
Tanpa Pensiun, 19/07/2007 disebutkan bahwa di Taman Siswa ada percetakan yang
dikerjakan dengan tangan. Mereka para seniman membuat koran dari kertas merang
yang tipis dan mudah robek, isinya menyemangati
perjuangan. Selain itu sering karikatur-karikatur Pak Salam diberikan begitu
saja untuk Harian Kedaulatan Rakjat, Nasional dan Patriot yang terbit di Jogja.
Sehari sesudah Belanda menyerang Jogja tanggal 19 Desember
1948, keluarga Pak Salam, keluarga Soerono, Oesman Effendi, Soedibjo dan
keluarga besar kami mengungsi ke Desa
Cebongan di Sleman Jogja di rumah pegawai bagian administrasi Pak Kambali. Di
rumah itulah tentara Belanda menangkap Pak
Salam, Soedibjo, Oesman Effendi dan Bapak saya, Abdullah Angudi.
Pak Soerono sedang mandi di kali didekat rumah dan terhindar dari
penangkapan.
Saat itu sesudah kembali dari mandi, Soerono menanyakan kepada para saksi bagaimana kejadian penangkapan itu. Di
kemudian hari Soerono melukis adegan penangkapan itu. Lukisan cat minyak Soerono
itu terdapat pada Buku Koleksi Lukisan
Presiden Soekarno yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Rakyat
Tiongkok.
Karena para suami dan laki-laki-dewasa dibawa untuk ditahan ke
Pabrik Gula Cebongan yang menjadi markas Tentara Belanda, ibu-ibu dan
anak-anaknya dengan perasaan gundah berpindah ke desa-desa berikutnya tanpa
tahu tujuan mereka dan apa yang akan
menimpa mereka. Mereka tidak mempunyai apa-apa tetapi masih ada
perhiasan yang disimpan dijahit di stagen mereka.
Sementara itu Pak Salam dan Bapak dipindahkan dari Pabrik Gula
Cebongan ke Rumah Tahanan Ngupasan di belakang Gedung Negara di kota Jogja.
Bapak ditahan satu minggu. Pak Salam
ditahan Belanda selama satu bulan di tempat yang sama. Karena Pak Salam dan
Bapak sebagai orang yang berpendidikan dapat berbahasa Belanda, selama ditahan
di Ngupasan Pak Salam dan Bapak tidak disiksa. Selain itu Belanda tidak
menemukan bukti-bukti bahwa Pak Salam dan Bapak adalah gerilyawan sehingga
mereka lepas dari nasib yang lebih buruk.
Sesudah satu bulan tidak berketentuan
Bapak dan Pak Salam dilepaskan oleh Belanda dan mereka berjalan menuju Cebongan
untuk mengawali mencari kemana keluarga mereka mengungsi ke desa berikutnya.
Pak Salam dan Bapak dapat menemukan keluarga mereka dengan cara bertanya kepada
penduduk desa kemana gerangan para pengungsi dari Jogja itu.
Berjalan dari Ngupasan Yogya ke Jumeneng Alit di mana
keluarga-keluarga itu tinggal adalah penuh bahaya karena gerilyawan Indonesia
mencurigai orang yang datang dari kota ke desa seperti Pak Salam dan Bapak
sebagai mata-mata Belanda. Ketika mereka ditanya oleh pasukan gerilya, mereka
menjelaskan siapa mereka dan apa yang telah dialami oleh mereka. Pasukan gerilya
percaya akan keterangan Pak Salam dan Bapak dan para gerilyawan membolehkan Pak
Salam dan Bapak untuk meneruskan perjalanan mereka mencari keluarganya.
Pada waktu berjalan ke Cebongan itu Bapak pernah kepergok juga
oleh tentara Belanda. Bapak menjelaskan
bahwa Bapak baru dilepas dari Ngupasan. Tentara Belanda itu menanyakan kepada
Bapak nama salah satu pimpinan di Ngupasan dan menghubungi Ngupasan melalui
radio. Tentara Belanda yang sedang
patroli itu melapaskan Bapak setelah Belanda itu bahwa Bapak memang baru
dibebaskan dari Ngupasan. Pak Salam dan Bapak dilepas dari Ngupasan pada hari
yang berbeda.
Pada akhir Februari 1949 Kakek Wirjo, Bu Warti dan Bu Sup
bergabung pulang ke Tegal bersama dengan rombongan Pasukan Siliwangi dan
keluarga mereka yang berjalan ke Jawa Barat dari Jogja atas perintah Jenderal
Sudirman agar Siliwangi mempertahankan Jawa Barat. Kakek Wiryo merencanakan
akan keutara memisahkan diri dari Divisi Siliwangi bila mereka sudah mendekati
kota Tegal.
Kembalinya Divisi Siliwangi ke Jawa Barat tidak dapat
dilakukan sekaligus dalam waktu yang dekat, karena mereka ke Jawa Barat bersama keluarga mereka dan harus berjalan kaki.
Semua infrastruktur transportasi dikuasi Belanda. Selain itu lokasi anggota
Divisi Diliwangi di Yogyakarta terpisah-pisah dibanyak tempat di rumah rakyat
dan komunikasi akan dilakukannya kembali ke Jawa Barat disampaikan dari mulut ke mulut oleh orang
yang dapat dipercaya. Itulah sebabnya pada bulan Februari 1949 masih ada
anggota Divisi Siliwangi yang bergerak ke barat walaupun perintah jeneral
Sudirman dilakukan pada tanggal 19 Desember 1948.
Pada bulan Juli 1949 tentara Belanda mengundurkan diri dan TNI
masuk Jogja setelah Dewan Keamanan PBB memerintahkan tentara Belanda untuk
meninggalkan Jogja. Penyerangan 1 Maret 1949 membuktikan kepada Dewan Keamanan
PBB bahwa Republik Indonesia masih ada.
Kami para pengungsi yaitu keluarga Pak Salam dan keluarga Abdullah Angudi mendengar berita mundurnya tentara Belanda
setengah tidak percaya bahwa Belanda akan mundur secepat itu karena senjata
yang dimiliki Belanda sangat tidak seimbang dengan apa yang dimiliki TNI.
Kamipun berjalan 35 km dari tempat pengungsian kami terakhir di
Desa Bligo yang sudah masuk Karesidenan Kedu, kembali ke Jl. Bugisan.
Sesudah berada di Jogja pada kira-kira 1950, masih segar dalam
ingatan akan penyerbuan Belanda, Pak Salam menggambar komik Kisah Pendudukan Jogja yang
menggambarkan pendaratan tentara Belanda, penangkapan Presiden Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Syahrir,
keputusan Jenderal Soedirman yang sedang sakit TBC untuk bergerilya dan penangkapan
Menteri Soepeno. Menteri Soepeno
Di komik itu digambarkan pula Kol. Soeharto yang sering masuk
Jogja dengan berpakaian abdidalem
(pegawai Keraton Jogja) untuk memata-matai tentara Belanda dan berkomunikasi
dengan pasukannya. Pada Serangan tanggal
1 Maret 1949 digambarkan dalam komik itu ratusan pasukan TNI keluar dari
keraton Jogja. Kraton Jogja dengan inisiatif Sri Sultan Hamengku Buwono IX,
menjadi markas TNI sementara dalam rangka persiapan dan pelaksanaan penyerangan
itu. Para gerilyawan tinggal di dalam keraton yang bertembok tinggi tanpa
diketahui oleh pihak Belanda.
Melihat tahun penerbitannya Kisah Pendudukan Jogja mungkin merupakan komik Indonesia pertama.
Kemudian dari tempat tinggalnya yang baru di Jalan
Bangirejo-Taman No. 17, Pak Salam menggambar komik Joko Tingkir, komik Pangeran
Diponegoro, yaitu kira-kira pada tahun limapuluhan. Pak Salam juga membuat
ilustrasi lagu anak-anak yang diterbitkan oleh Taman Siswa Jogja. Mungkin pada
tahun yang sama Pak Salam diminta oleh De
Javaasche Bank untuk membuat uang Dua
Setengah Rupiah atau satu ringgit yang menggambarkan warga suku dari Nusa
Tenggara Timur disertai dengan pemandangan alamnya dan bentuk rumahnya. Melukis
uang tersebut dilakukan di Negeri Belanda selama sebulan. Di pojok uang satu ringgit itu
tertera tulisan kecil Abdulsalam Del
yaitu suatu tanda bahwa yang menggambar adalah Pak Salam.
Sebagai grafikus, Pak Salam bersama seniman-seniman lain telah
memberikan apa yang bisa mereka lakukan untuk Republik Indonesia. Pak Salam
adalah orang yang sederhana, tabah dan riang dalam menghadapi kehidupan walaupun sampai akhir hayatnya
tidak dapat pensiun.
Pada suatu saat Pak Salam mengatakan: "Alam selalu harmonis", karena itu
..."Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi"...(Qur'an 2:11)
Pada suatu saat Pak Salam mengatakan: "Alam selalu harmonis", karena itu
..."Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi"...(Qur'an 2:11)
Kisah ini memberi pelajaran bahwa walaupun persenjataan
Tentara Belanda jauh lebih hebat dari TNI, tetapi Belanda tidak dapat
mengalahkan semangat rakyat Indonesia untuk merdeka.
Allah Yang Maha Pemurah telah memberikan kemerdekaan bagi
bangsa Indonesia, karena bangsa Indonesia telah menunjukkan kemauan yang besar
untuk merdeka, selain kemerdekaan itu adalah ridho dari Allah.
Pak Salam itu paman saya.
Sardjono Angudi
angudiwatugiri@gmail.com
12/2012 revised 02/2023
angudiwatugiri@gmail.com
12/2012 revised 02/2023
Gambar 1: Mungkin Kali Bedog, kado dari Pak Salam ketika
saya nikah September 1970.
No comments:
Post a Comment