ayo menggambar

PELUKIS WAHDI SUMANTA SUKA MENGGAMBAR PEMANDANGAN, PELUKIS ABDULSALAM PADA WAKTU JAMAN REVOLUSI MENGGAMBAR KARIKATUR DAN KOMIK PERJUANGAN, SEDANGKAN SAYA HANYA MEMBERIKAN CARA MENGGAMBAR DENGAN CAT AIR DENGAN ALAT SEDERHANA

Thursday, July 26, 2012






WAHDI SUMANTA PELUKIS PEMANDANGAN INDONESIA.
           
Pada tahun 1994 di Galeri Hidayat Jalan Sulanjana 36 Bandung diadakan pameran Lukisan Wahdi Sumanta. Pelukis ini lahir di Bandung pada bulan Oktober 1917 dan sejak di Sekolah Dasar (HIS) telah menunjukkan bakatnya sehingga mendapat perhatian dari pimpinan lembaga yang menyelenggarakan sekolah itu. Ketika tamat sekolah oleh pimpinan lembaga dibiayai untuk belajar melukis kepada pelukis Abdullah Soerjosoebroto, yaitu ayah dari pelukis Basuki Abdullah.
Pengaruh gurunya tampak pada lukisan-lukisan Wahdi. Wahdi seangktan dengan pelukis-pelukis Affandi, Barli, Hendra dan Sudarso.
Pameran-pameran yang dilakukannya adalah pada tahun 1934 di Pendopo Kabupaten Bandung, kemudian pada tahun 1944 di Alun-alun Bandung.  Pada tahun 1974 atas dorongan pelukis Affandi, Wahdi menyelenggarakan pameran tunggal di Balai Budaya Jakarta. Tahun berikutnya 1975 Wahdi menyelenggarakan pameran bersama Affandi, Barli, Sudarso di Sanggar Sangkuriang, Bandung.
Pada tahun 1978 atas sponsor penulis Ayip Rosidi, Wahdi Sumanta menyelanggarakan pameran tunggal  di  Balai Budaya dan pada tahun yang sama membuat pameran reuni  bersama Affandi, Barli, Sudarso dan Hendra di Taman Ismail Marzuki  Jakarta.
Lukisan-lukisan itu dicetak pada brosur yang dapat dibeli pada waktu pameran di Galeri Hidayat 15-25 Oktober 1994. Lukisan yang terpampang disini berasal dari brosur tersebut. Wahdi adalah pelukis besar yang mengamati alam yang diberikan oleh Allah, Parahiyangan.
 
Sardjono Angudi 
angudiwatugiri@gmail.com
       07/2012m revised 02/2023

                                                       Gambar 1: Pura Batu Bolong, 1988



                                                         Gambar 2: Pantai Cihara, 1976



                                                         Gambar 3: Tagog Apu, Padalarang, Bandung, 1974.


                                                   Gambar 4: Gunung Masigit, Padalarang, Bandung, 1984.



                                                   Gambar 5: Gunung Manglayang, 1967




                                                    Gambar 6: Neglasari, Garut, 1980




                                           Gambar 6: Gunung Tampomas, Tanjungkerta, 1988



                                                Gambar 7: Gunung Sumbing, Jawa Tengah, 1994



                                                     Gambar 8: Senja di Cikurutug, 1994

Wednesday, July 25, 2012


ABDULSALAM  DKK SENIMAN DIMASA PERANG KEMERDEKAAN R.I.

Menurut mBak Yetti Iskandar Hidayat, putri Pak Salam ke-3, Abdulsalam dilahirkan di Sumpyuh, Jawa Tengah,  pada tanggal 9 April 1912. Didalam publikasi namanya dipisahkan menjadi Abdul Salam, akan tetapi tandatangan di lukisannya adalah Abdulsalam dengan huruf “m” ditulisnya sebagai tiga garis sejajar seperti  “III”. 
Pak Salam adalah anak seorang staf De Javaasche Bank di Purwokerto. Pada tahun 1941, empat tahun sebelum merdeka,  Pak Salam pernah menjadi anggota dan kemudian pernah menjadi sekretaris Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI). Pada potret pendirian organisasi itu, Pak Salam nampak pada baris belakang, sebelah kiri, berkumis dan memakai jas putih.
Di salah satu berita disebutkan bahwa dengan didirikannya PERSAGI merupakan suatu bentuk perlawanan kepada Belanda dalam hal seni, bahwa bangsa Indonesia tidak hanya bisa menjadi kuli seperti yang disindirkan oleh seorang pejabat Belanda.
Sesudah tamat MULO (SMP jaman Belanda) di Bandung, Pak Salam bekerja di Kantor Statistik dekat Pasar Baru Jakarta.
Saya mengenal karikaturis Pak Salam pada bulan Juli 1947 waktu ayah saya seorang pegawai Kementerian Pekerjaan Umum, ditugaskan untuk belajar di Universiteit Gajah Mada dan membawa keluarga besar kami  dari Temanggung ke Jogja. Keluarga besar adalah keluarga inti ditambah Kakek Wirjo (54) yaitu bapaknya Ibu, dua adik Ibu, yaitu Bu Warti (16) dan Bu Sup (14) yang mengungsi dari Tegal dan sampai di Temanggung dengan berjalan kaki melalui sawah, desa dan sungai sejauh 250 km.
Indonesia masih dalam keadaan perang melawan Belanda yang tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Sesudah proklamasi Belanda mengadakan Agresi Militer  I dan Agresi Militer II masing-masing pada  Juli 1947 dan Desember 1948 dengan melanggar Perjanjian Renville dan Perjanjian Linggarjati.
           Di Jogja keluarga besar kami tinggal di sebuah rumah petak di Jl. Bugisan no. 5 di mana  beberapa keluarga tinggal yaitu  keluarga pelukis Abdulsalam, keluarga pelukis Soerono dan keluarga besar  kami.
Ditengah rumah terdapat ruangan yang agak luas  yang digunakan sebagai “kantor” untuk bekerja para pelukis yang tiap pagi datang dan pulang siang hari. Mereka yang sering saya lihat adalah adalah pelukis-pelukis  Soedibjo, Ramli, Oesman Effendi dan Tino Sidin. Kadang-kadang datang pelukis Soekamto dan pernah Pak Djon panggilan pelukis S. Soedjojono datang ke Jalan Bugisan.  Di ruang tengah itulah terdapat lukisan-lukisan bernuansa perjuangan di antara lukisan-lukisan lainnya, tube cat dan kwas.
Para pelukis itu membuat gambar, spanduk dan selebaran untuk menggelorakan perjuangan. Mereka digaji oleh Kementerian Pemuda dan Pembangunan  yang menterinya adalah Soepeno. Dalam komik Kisah Pendudukan Jogja Pak Salam menggambarkan Menteri Soepeno yang akan mandi ke kali dalam pengungsian kepergok Tentara Belanda. Menteri Soepeno gugur ditembak. Menteri Soepeno telah menyumbangkan jiwa raganya untuk Republik Indonesia.
Di Bugisan itulah saya melihat Soerono membuat rancangan bendera Pekan Olah Raga Nasional yang diselenggarakan di Stadion Sriwedari Solo. Dalam Album Perang Kemerdekaan 1945-1950 Penerbit Almanak R.I./BP Alda, disebutkan bahwa bendera PON memang dibawa dari Jogja ke Solo.
Dalam buku yang sama di depan Gedung Negara di Jogja tertera grafiti bagus menurut kaidah lettering yang dibuat dengan kwas dan tatabahasa yang benar We Don’t Want to be Ruled by Any Other Nations. Tentulah seorang seniman tak mau dikenal yang membuatnya dan seorang politikus pejuang tak mau dikenal yang mendiktekan kalimatnya.
Dalam blog Arswendo Atmowiloto yang berjudul Tiga yang Berharga (1) Pak Salam, Pejuang Tanpa Pensiun, 19/07/2007 disebutkan bahwa di Taman Siswa ada percetakan yang dikerjakan dengan tangan. Mereka para seniman membuat koran dari kertas merang yang tipis dan mudah robek, isinya  menyemangati perjuangan. Selain itu sering karikatur-karikatur Pak Salam diberikan begitu saja untuk Harian Kedaulatan Rakjat, Nasional dan Patriot yang terbit di Jogja. 
Sehari sesudah Belanda menyerang Jogja tanggal 19 Desember 1948, keluarga Pak Salam, keluarga Soerono, Oesman Effendi, Soedibjo dan keluarga besar kami mengungsi ke  Desa Cebongan di Sleman Jogja di rumah pegawai bagian administrasi Pak Kambali. Di rumah itulah tentara Belanda menangkap  Pak Salam, Soedibjo, Oesman Effendi dan Bapak saya, Abdullah Angudi.
Pak Soerono sedang mandi di kali didekat rumah dan terhindar dari penangkapan.
Saat itu sesudah kembali dari mandi,  Soerono menanyakan kepada para saksi  bagaimana kejadian penangkapan itu. Di kemudian hari Soerono melukis adegan penangkapan itu. Lukisan cat minyak Soerono itu terdapat pada Buku Koleksi Lukisan Presiden Soekarno yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok.
Karena para suami dan laki-laki-dewasa dibawa untuk ditahan ke Pabrik Gula Cebongan yang menjadi markas Tentara Belanda, ibu-ibu dan anak-anaknya dengan perasaan gundah berpindah ke desa-desa berikutnya tanpa tahu tujuan mereka dan apa yang akan  menimpa mereka. Mereka tidak mempunyai apa-apa tetapi masih ada perhiasan yang disimpan dijahit di stagen mereka.
Sementara itu Pak Salam dan Bapak dipindahkan dari Pabrik Gula Cebongan ke Rumah Tahanan Ngupasan di belakang Gedung Negara di kota Jogja. Bapak ditahan satu minggu.  Pak Salam ditahan Belanda selama satu bulan di tempat yang sama. Karena Pak Salam dan Bapak sebagai orang yang berpendidikan dapat berbahasa Belanda, selama ditahan di Ngupasan Pak Salam dan Bapak tidak disiksa. Selain itu Belanda tidak menemukan bukti-bukti bahwa Pak Salam dan Bapak adalah gerilyawan sehingga mereka lepas dari nasib yang lebih buruk.
Sesudah satu bulan tidak berketentuan Bapak dan Pak Salam dilepaskan oleh Belanda dan mereka berjalan menuju Cebongan untuk mengawali mencari kemana keluarga mereka mengungsi ke desa berikutnya. Pak Salam dan Bapak dapat menemukan keluarga mereka dengan cara bertanya kepada penduduk desa kemana gerangan para pengungsi dari Jogja itu.
Berjalan dari Ngupasan Yogya ke Jumeneng Alit di mana keluarga-keluarga itu tinggal adalah penuh bahaya karena gerilyawan Indonesia mencurigai orang yang datang dari kota ke desa seperti Pak Salam dan Bapak sebagai mata-mata Belanda. Ketika mereka ditanya oleh pasukan gerilya, mereka menjelaskan siapa mereka dan apa yang telah dialami oleh mereka. Pasukan gerilya percaya akan keterangan Pak Salam dan Bapak dan para gerilyawan membolehkan Pak Salam dan Bapak untuk meneruskan perjalanan mereka mencari keluarganya.
Pada waktu berjalan ke Cebongan itu Bapak pernah kepergok juga oleh tentara Belanda.  Bapak menjelaskan bahwa Bapak baru dilepas dari Ngupasan. Tentara Belanda itu menanyakan kepada Bapak nama salah satu pimpinan di Ngupasan dan menghubungi Ngupasan melalui radio.  Tentara Belanda yang sedang patroli itu melapaskan Bapak setelah Belanda itu bahwa Bapak memang baru dibebaskan dari Ngupasan. Pak Salam dan Bapak dilepas dari Ngupasan pada hari yang berbeda.
Pada akhir Februari 1949 Kakek Wirjo, Bu Warti dan Bu Sup bergabung pulang ke Tegal bersama dengan rombongan Pasukan Siliwangi dan keluarga mereka yang berjalan ke Jawa Barat dari Jogja atas perintah Jenderal Sudirman agar Siliwangi mempertahankan Jawa Barat. Kakek Wiryo merencanakan akan keutara memisahkan diri dari Divisi Siliwangi bila mereka sudah mendekati kota Tegal.
Kembalinya Divisi Siliwangi ke Jawa Barat tidak dapat dilakukan sekaligus dalam waktu yang dekat, karena mereka  ke Jawa Barat bersama  keluarga mereka dan harus berjalan kaki. Semua infrastruktur transportasi dikuasi Belanda. Selain itu lokasi anggota Divisi Diliwangi di Yogyakarta terpisah-pisah dibanyak tempat di rumah rakyat dan komunikasi akan dilakukannya kembali ke Jawa Barat  disampaikan dari mulut ke mulut oleh orang yang dapat dipercaya. Itulah sebabnya pada bulan Februari 1949 masih ada anggota Divisi Siliwangi yang bergerak ke barat walaupun perintah jeneral Sudirman dilakukan pada tanggal 19 Desember 1948.
Pada bulan Juli 1949 tentara Belanda mengundurkan diri dan TNI masuk Jogja setelah Dewan Keamanan PBB memerintahkan tentara Belanda untuk meninggalkan Jogja. Penyerangan 1 Maret 1949 membuktikan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa Republik Indonesia masih ada.
Kami para pengungsi yaitu keluarga Pak Salam dan keluarga  Abdullah Angudi  mendengar berita mundurnya tentara Belanda setengah tidak percaya bahwa Belanda akan mundur secepat itu karena senjata yang dimiliki Belanda sangat tidak seimbang dengan apa yang dimiliki TNI.
Kamipun berjalan 35 km dari tempat pengungsian kami terakhir di Desa Bligo yang sudah masuk Karesidenan Kedu, kembali ke Jl. Bugisan.
Sesudah berada di Jogja pada kira-kira 1950, masih segar dalam ingatan akan penyerbuan Belanda, Pak Salam menggambar komik Kisah Pendudukan Jogja yang menggambarkan pendaratan tentara Belanda, penangkapan Presiden  Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Syahrir, keputusan Jenderal Soedirman yang sedang sakit TBC untuk bergerilya dan penangkapan Menteri Soepeno. Menteri Soepeno
Di komik itu digambarkan pula Kol. Soeharto yang sering masuk Jogja dengan berpakaian abdidalem (pegawai Keraton Jogja) untuk memata-matai tentara Belanda dan berkomunikasi dengan pasukannya. Pada  Serangan tanggal 1 Maret 1949 digambarkan dalam komik itu ratusan pasukan TNI keluar dari keraton Jogja. Kraton Jogja dengan inisiatif Sri Sultan Hamengku Buwono IX, menjadi markas TNI sementara dalam rangka persiapan dan pelaksanaan penyerangan itu. Para gerilyawan tinggal di dalam keraton yang bertembok tinggi tanpa diketahui oleh pihak Belanda.
Melihat tahun penerbitannya Kisah Pendudukan Jogja mungkin merupakan komik Indonesia pertama.
Kemudian dari tempat tinggalnya yang baru di Jalan Bangirejo-Taman  No. 17, Pak Salam  menggambar komik Joko Tingkir, komik Pangeran Diponegoro, yaitu kira-kira pada tahun limapuluhan. Pak Salam juga membuat ilustrasi lagu anak-anak yang diterbitkan oleh Taman Siswa Jogja. Mungkin pada tahun yang sama Pak Salam diminta oleh De Javaasche Bank untuk membuat uang Dua Setengah Rupiah atau satu ringgit yang menggambarkan warga suku dari Nusa Tenggara Timur disertai dengan pemandangan alamnya dan bentuk rumahnya. Melukis uang tersebut dilakukan di Negeri Belanda selama  sebulan. Di pojok uang satu ringgit itu tertera tulisan kecil Abdulsalam Del yaitu suatu tanda bahwa yang menggambar adalah Pak Salam.
Sebagai grafikus, Pak Salam bersama seniman-seniman lain telah memberikan apa yang bisa mereka lakukan untuk Republik Indonesia. Pak Salam adalah orang yang sederhana, tabah dan riang dalam menghadapi   kehidupan walaupun sampai akhir hayatnya tidak dapat pensiun. 
Pada suatu saat Pak Salam mengatakan: "Alam selalu harmonis", karena itu

..."Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi"...(Qur'an 2:11)

Kisah ini memberi pelajaran bahwa walaupun persenjataan Tentara Belanda jauh lebih hebat dari TNI, tetapi Belanda tidak dapat mengalahkan semangat rakyat Indonesia untuk merdeka.
Allah Yang Maha Pemurah telah memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, karena bangsa Indonesia telah menunjukkan kemauan yang besar untuk merdeka, selain kemerdekaan itu adalah ridho dari Allah.
Pak Salam itu paman saya.
 
Sardjono Angudi 
        angudiwatugiri@gmail.com
        12/2012 revised 02/2023



                                           Gambar 1:  Mungkin Kali Bedog, kado dari Pak Salam ketika saya nikah September 1970.
      Gambar 2:  Kado dari Pak Salam waktu kami pindah dari Jogja ke Bandung, Juli 1959.